Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.


Klasifikasi Sapi Perah dan Bioteknologi Reproduksi


Setelah kita mengenal beberapa kendala dalam tatalaksana pemeliharaan sapi perah sebagaimana fenomena 1-5 dan bahwa selama ini ternyata terdapat beberapa 'kesalahan' teknis yang tidak kita sadari dalam memahami dan menerapkannya. Antara lain flushing pakan dan masa kering kandang yang saling bertentatangan sehingga merugikan dan menyiksa sapi perah sebagai 'mitra kerja' kita memproduksi susu. Maka perlu kiranya menata ulang tatalaksana tersebut melalui pemberdayaan bioteknologi reproduksi. Sehingga didapat pola yang ideal dan bahkan menjadikannya sebagai penganeka ragaman (diversifikasi) atau aneka cabang usaha peternakan sapi di Indonesia.

ANEKA USAHA TANI : SAPI PERAH, SAPI POTONG, SAPI BIBIT DAN BIBIT SAPI (BENIH/EMBRIO) DALAM SATU MANAJEMEN.

Melalui pemberdayaan bioteknologi reproduksi, maka usaha ternak sapi meski dalam skala kecil sekalipun dapat sekaligus melakukan aneka cabang usaha. Sebagaimana kita ketahui dalam Quantitatively Indonesian FH Cows Milk Production terdapat 3 kategori/klasifikasi sapi perah, yaitu Foundation Stock/klas A produksi susu >6000 kg atau setara sekitar 20 liter/ekor/hari, Breeding Sock/klas B produksinya 5000-6000 kg atau setara sekitar 16-19 l/ek/hr dan Commercial Stock/klas C produksi 4000-5000 kg setara 13-15 l/ek/hr.

Sapi perah klas A dipakai sebagai penghasil susu dan penghasil embrio mengacu pada flushing embrio tunggal setiap siklus birahi. Sapi ini tidak dibuntingkan untuk mengurangi beban fisiologis dan menghindari kendala fenomena. Produksi susu juga tidak perlu mengacu pada masa laktasi 305 hari, bisa lebih dari itu sepanjang manajemen pakan yang baik dan benar dipatuhi serta tidak usah memperhatikan masa kering karena tidak bunting. Biarkan produksi susu turun secara alami melewati kendala fenomena, baru setelah aman dibuntingkan untuk produksi susu masa laktasi berikutnya.

Sapi perah klas B dipersiapkan untuk membentuk sapi komposit (dibahas episode berikutnya) sebagai induk resipien yang dibuntingkan melalui transfer embrio dari sapi perah klas A dan sapi induk parent stock yang melahirkan sapi potong bakalan komposit final stock (sedang dirintis realisasnya).

Sapi perah klas C sementara belum terbentuk sapi induk komposit, dipakai sebagai induk resipien menerima kebuntingan dari sapi perah klas A. Selanjutnya sapi perah klas C ini diafkir atau dibiarkan punah secara alami, artinya tidak dikembangbiakkan karena tidak ekonomis. Transfer embrio (TE) dari sapi perah klas A pada sapi resipien mengacu pada prosedur embrio segar. Dalam keadaan terpaksa tidak ada resipien yang ideal waktu itu atau terkendala jarak melebihi 12 jam, maka ditempuh prosedur pengawetan dan penyimpanan embrio dingin segar (24-48 jam).

Pembekuan embrio sedapat mungkin dihindari, kalaupun terpaksa ditempuh pembekuan metode cepat (vitrifikasi) atau manual bukan programmable embryo freezing machine (dibahas di episode yang akan datang). Dengan demikian dalam satu unit uaha atau kawasan usaha ternak sapi terdapat aneka cabang usaha yaitu susu segar, bibit sapi perah dan potong, sapi potong bakalan serta benih sapi (embrio) segar maupun beku. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkerjakan tenaga yang betul-betul ahli, yaitu dokter hewan. (bersambung)





  • href="http://www.payooclub.com/pages/index.php?refid=hasan7226">payooclub.comborder="0"
    src="http://www.payooclub.com/images/banner.gif"/>











  • Gabung disini



  • Gabung disini



  • Gabung disini