Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

Memilih bioteknologi atau kelaparan?

Memilih bioteknologi atau kelaparan?





Tuesday, 06 January 2009


Image

Ada secercah harapan ketika bioteknologi diyakini mampu menyelamatkan umat manusia dari kelangkaan pangan dan kelaparan di dunia. Melalui bioteknologi, hasil produksi tanaman dapat ditingkatkan minimal 10%. Sayangnya, harapan tinggal harapan ketika sektor pertanian tidak cukup akrab dengan bioteknologi. Salah siapa jika kemudian kelaparan mulai merajalela?

Food and Agriculture Organization (FAO) baru-baru ini merilis data jumlah penduduk dunia yang kelaparan mencapai lebih dari 850 juta jiwa. Harga pangan pun melonjak dua kali lipat hanya dalam 2 tahun terakhir.

Selain kekurangan pangan kronis, defisiensi mikronutrien menjadi momok karena kualitas dan diversitas pangan yang dikonsumsi sangat buruk. Padahal FAO memproyeksikan akan terdapat 2 miliar penduduk Bumi yang butuh makan dalam 30 tahun ke depan.

Di sisi lain, produktivitas pertanian dunia, khususnya di negara-negara agraris pemasok produk pangan tidak meningkat secara simultan seiring dengan pertumbuhan penduduk.

Padahal, Revolusi Hijau telah mengajarkan pentingnya inovasi teknologi, seperti benih unggul, pupuk, pestisida, dan mekanisasi pertanian untuk mendongrak efisiensi usaha tani.

Jelas, bertahan dengan usaha tani konvensional tidak akan memberikan hasil lebih baik di tengah tekanan peningkatan kebutuhan pangan yang terus-menerus. Bagi Indonesia, seharusnya kondisi ini menjadi peluang mengingat potensi sektor pertanian masih mungkin dilipatgandakan.

Sayangnya, model-model usaha tani konvensional yang hanya mengandalkan kemampuan alam secara alami justru mendominasi kantong-kantong sentra pertanian.

Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengakui bahwa pemerintah sebenarnya telah memberikan perhatian pada teknologi inovatif baru yang berasal dari bioteknologi modern, bahkan sejak 20 tahun yang lalu. Apa hasilnya? Memang, belum tampak signifikan.

Kendalanya bukan lagi menjadi rahasia. Indonesia belum siap memanfaatkan produk bioteknologi pada tanaman pangan karena kendala instrumen kebijakan yang tidak lengkap.

Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian Sutrisno mengungkapkan tanpa instrumen kebijakan pemanfaatan produk transgenik tidak mungkin dilakukan di dalam negeri.

Akibatnya, pengembangan bioteknologi yang dirintis sejak 1996 hingga kini belum optimal. Padahal, dua komoditas pangan telah dikembangkan melalui bioteknologi, yaitu padi dan kentang, meskipun hasilnya baru mencapai 20% dari target. Sutrisno memang tidak patah arang. Dengan anggaran yang tidak lebih dari Rp700 juta per tahun, daya riset pun terbatas. Basis riset bioteknologi harus dipilih untuk mengoptimalkan penelitian pada produk unggulan yaitu tomat, tebu, dan jarak pagar.

Lebih siap

Bandingkan dengan Filipina, misalnya. Dengan dukungan yang kuat dari pemerintah, termasuk soal anggaran yang hampir tidak terbatas untuk riset bioteknologi pertanian, negara ini lebih siap menangkal ledakan konsumsi pangan pada masa mendatang dengan memanfaatkan teknologi itu.

Bioteknologi menjadi sebuah nilai tambah ketika lahan di negara itu tidak lagi dapat diandalkan untuk mendongrak peningkatan hasil produksi pertanian. Filipina kini tercatat sebagai negara pertama di Asia yang menanam tanaman produk bio-teknologi untuk bahan pangan yaitu jagung. Pertama kali ditanam pada 2002 di areal 126 hektare, jagung Bt di Filipina mampu mendongrak pendapatan petani karena produksi berlipat 60% per ha. Sepanjang 2003-2005, keuntungan pertanian jagung Bt mencapai US$8,5 juta.

Hingga pada 2007 luas pertanaman ini melonjak hingga 300.000 ha dengan pendapatan petani penanam jagung mencapai US$181 per ha. Nilai yang sungguh fantastis. Selain mengoptimalkan penanaman, Filipina juga berhasil mengembangkan padi dan kelapa tahan penyakit. Rekayasa genetik juga dilakukan pada tanaman pepaya agar lebih tahan hama sekaligus meningkatkan hasil panen.

Langkah serupa juga dilakukan di China dan India. Meskipun belum mengembangkan bioteknologi untuk tanaman pangan, kedua negara ini telah membuktikan manfaat teknologi tersebut pada produksi kapas.

Lalu, di manakah posisi Indonesia? Jawabnya, mungkin hanya soal waktu. Sebab, soal kompetensi, ahli bioteknologi di dalam negeri tidak perlu diragukan.

Setidaknya, ini terbukti dengan adanya beberapa negara yang berminat melakukan kerja sama dengan ahli-ahli Indonesia, seperti Iran dan Filipina. Pun pada 2001, untuk pertama kalinya di Asia Tenggara, Departemen Pertanian merilis dua varietas tanaman padi biotek, yaitu Code dan Angke, yang masing-masing mengandung gen xa-7 dan xa-5 sehingga mampu menoleransi serangan penyakit hawar daun bakteri.

Hanya saja, 'jebakan' birokrasi dan instrumen kebijakan yang tidak pernah menjadi prioritas menjauhkan petani Indonesia dari perkembangan bioteknologi di dalam negeri. Produk bioteknologi tidak pernah membumi di level itu.

Semestinya, harga pangan yang sempat melambung tinggi pada 2007 menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi Indonesia untuk belajar. Sekarang, pilihannya sederhana: memanfaatkan bioteknologi atau kelaparan?

HALAL-HARAM Produk Bioteknologi




Terlepas dari pro dan kontra diharamkannya MSG Ajinomoto oleh MUI
baru-baru ini, kejadian tersebut seharusnya membangunkan kita dari
tidur panjang selama ini, betapa banyak permasalahan yang dihadapi
umat Islam dalam masalah kehalalan produk-produk pangan. Oleh karena
itu, ilmuwan diharapkan ikut berperan dalam menyelesaikan permasalahan
ini demi kepentingan umat. Agaknya perkembangan teknologi yang sedemikian
pesat belum sejalan dengan perkembangan pemahaman hukum Islam dan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, ijtihad
dalam masalah kehalalan produk pangan ini sangat dibutuhkan untuk
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam dalam masalah
ini.Di satu sisi, para ahli syariah Islam mungkin belum seluruhnya menyadari
betapa kompleksnya produk pangan dewasa ini dimana asal usul bahan
bisa melalui jalur yang berliku-liku, banyak jalur, bahkan dalam
beberapa kasus, sulit ditentukan asal bahannya. Dengan demikian,
penentuan kehalalan suatu produk menjadi tidak mudah, memerlukan
peran ilmuwan untuk menelusuri asal usul bahan dan proses pembuatannya.
Di sisi lain, pemahaman para ilmuwan terhadap syariah Islam, ushul
fiqih dan metodologi penentuan halam haramnya suatu bahan pangan
dari sisi syariah, relatif minimal. Akibatnya, sering terjadi perbedaan
pandangan dalam menentukan kehalalan produk pangan. Dengan demikian
seharusnya para ilmuwan muslim menggali kembali pengetahuan syariahnya,
sehingga mampu mengamalkannya dalam kegiatan sehari-hari. Disamping
itu, pengetahuan tersebut akan membantu ilmuwan untuk bersama-sama
ulama menentukan status kehalalan produk-produk pangan.makalah ini akan dicoba dibahas hukum-hukum syariah yang berhubungan
kehalalan makanan dan minuman serta implikasinya dalam penentuan
kehalalan produk pangan hasil bioteknologi. Tentu saja pembahasan
disini lebih menekankan pada kajian berdasarkan sumber utama yaitu
Al-Quran dan hadis, kemudian didukung oleh hasil ijma ulama dan pendapat-
pendapat para ulama. Selain itu, pembahasan hanya secara garis besar
saja, kecuali beberapa hal yang dianggap kritis. Selanjutnya akan
dicoba membahas secara umum bagaimana implikasi hukum-hukum tersebut
pada produk pangan hasil bioteknologi. BAHAN PANGAN YANG DIHARAMKANDan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepadanya (Al-Maaidah: 88).Ayat tersebut diatas jelas-jelas telah menyuruh kita hanya memakan
makanan yang halal dan baik saja, dua kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,
yang dapat diartikan halal dari segi syariah dan baik dari segi
kesehatan, gizi, estetika dan lainnya.Sesuai dengan kaidah ushul fiqih, segala sesuatu yang Allah tidak
melarangnya berarti halal. Dengan demikian semua makanan dan minuman
diluar yang diharamkan adalah halal. Oleh karena itu, sebenarnya
sangatlah sedikit makanan dan minuman yang diharamkan tersebut. Walaupun
demikian, pada zaman dimana teknologi telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari manusia, maka permasalahan makanan dan minuman halal
menjadi relatif kompleks, apalagi yang menyangkut produk-produk bioteknologi.Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut nama selain Allah.
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang
(Al-Baqarah:173).Dari ayat diatas jelaslah bahwa makanan yang diharamkan pada pokoknya
ada empat:Bangkai: yang termasuk kedalam kategori bangkai ialah hewan yang
mati dengan tidak disembelih, termasuk kedalamnya hewan yang matinya
tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan buas,
kecuali yang sempat kita menyembelihnya (Al-Maaidah:3). Bangkai yang
boleh dimakan berdasarkan hadis yaitu bangkai ikan dan belalang (Hamka,
1982).
Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir (Al-An’aam:
145), yang dimaksud adalah segala macam darah termasuk yang keluar
pada waktu penyembelihan (mengalir), sedangkan darah yang tersisa
setelah penyembelihan yang ada pada daging setelah dibersihkan dibolehkan
(Sabiq, 1987). Dua macam darah yang dibolehkan yaitu jantung dan
limpa, kebolehannya didasarkan pada hadis (Hamka, 1982).
Daging babi. Kebanyakan ulama sepakat menyatakan bahwa semua bagian
babi yang dapat dimakan haram, sehingga baik dagingnya, lemaknya,
tulangnya, termasuk produk-produk yang mengandung bahan tersebut,
termasuk semua bahan yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan
tersebut sebagai salah satu bahan bakunya. Hal ini misalnya tersirat
dalam Keputusan Fatwa MUI bulan September 1994 tentang keharaman
memanfaatkan babi dan seluruh unsur-unsurnya (Majelis Ulama Indonesia,
2000).
Binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Menurut
Hamka (1984), ini berarti juga binatang yang disembelih untuk yang
selain Allah (penulis mengartikan diantaranya semua makanan dan minuman
yang ditujukan untuk sesajian). Tentu saja semua bagian bahan yang
dapat dimakan dan produk turunan dari bahan ini juga haram untuk
dijadikan bahan pangan seperti berlaku pada bangkai dan babi.
Masalah pembacaan basmalah pada waktu pemotongan hewan adalah masalah
khilafiyah (Hamka, 1982), ada yang mengharuskan membacanya, ada yang
hanya menyunahkan saja (Hassan, 1985). Yang mengharuskan membacanya
berpegang pada surat Al-An'am ayat 121: dan janganlah kamu memakan
binatang yang tidak disebut nama Allah (ketika menyembelihnya), sesungguhnya
hal itu suatu kefasikanE Bagi mereka yang menyunahkan membacanya
berpegang pada hadis-hadis, diantaranya hadis yang dirawikan oleh
Bukhari, An-Nasa-i dan Ibnu Majah dari hadis Aisyah bahwa suatu kaum
datang kepada kami membawakan kami daging, tetapi kami tidak tahu
apakah disebut nama Allah atasnya atau tidak. Maka menjawab Rasulullah
saw: kamu sendiri membaca bismillah atasnya, lalu makanlah! Berkata
yang merawikan: mereka itu masih dekat kepada zaman kufur.E(Artinya
baru masuk Islam) (Hamka, 1982).Ada satu masalah lagi yang masih menjadi khilafiyah yaitu sembelihan
ahli kitab, ada yang membolehkan (Hamka, 1982; Qardlawi, 1976) yang
didasarkan diantaranya firman Allah dalam surat Al-Maaidah ayat 5:
Edan makanan orang-orang yang diberi AlKitab itu halal bagimu,
dan makanan kamu halal bagi merekaE Kebolehan memakan hewan ternak
(selain babi) hasil sembelihan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) ini
sepanjang cara penyembelihannya sesuai dengan cara penyembelihan
secara islami (menggunakan pisau yang tajam, memotong urat lehernya
dan hewan mengeluarkan darahnya pada waktu disembelih yang berarti
hewan belum mati pada waktu disembelih walaupun dipingsankan dulu
sebelumnya) (Hamka, 1982). Yang mengharamkan sembelihan ahli kitab
didasarkan pada ayat 121 surat Al-An'am seperti dituliskan diatas,
dimana mereka menyembelih tidak atas nama Allah.Disamping keempat kelompok makanan yang diharamkan tersebut diatas,
terdapat pula kelompok makanan yang diharamkan karena sifatnya yang
buruk seperti dijelaskan dalam surat Al-A`raaf:157 .....dan menghalalkan
bagi mereka segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
hal yang buruk...... Apa-apa saja yang buruk tersebut agaknya dicontohkan
oleh Rasulullah dalam beberapa hadis, diantaranya hadis Ibnu Abbas
yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Muslim dan Ash Habussunan: Telah
melarang Rasulullah saw memakan tiap-tiap binatang buas yang bersaing
(bertaring penulis), dan tiap-tiap yang mempunyai kuku pencengkraman
dari burung. Sebuah hadis lagi sebagai contoh, dari Abu Tsa`labah:
Tiap-tiap yang bersaing dari binatang buas, maka memakannya adalah
haram (perawi hadis sama dengan hadis sebelumnya).Hewan-hewan lain yang haram dimakan berdasarkan keterangan pada hadis-
hadis ialah himar kampung, bighal, burung gagak, burung elang, kalajengking,
tikus, anjing, anjing gila, semut, lebah, burung hud-hud, burung
shard (Sabiq, 1987). Selain itu, ada lagi binatang yang tidak boleh
dimakan yaitu yang disebut jallalah. Jallalah adalah binatang yang
memakan kotoran, baik ia unta, sapi, kambing, ayam, angsa, dll sehingga
baunya berubah. Jika binatang itu dijauhkan dari kotoran (tinja)
dalam waktu lama dan diberi makanan yang suci, maka dagingnya menjadi
baik sehingga julukan jallalah hilang, kemudian dagingnya halal (Sabiq,
1987).Ada pula Imam yang tidak mengkategorikan makanan-makanan haram yang
dijelaskan dalam hadis sebagai makanan haram, tetapi hanya makruh
saja. Pendapat ini dipegang oleh penganut mazhab Maliki (Hamka, 1982;
Hassan, 1985; Sabiq 1987). Akan tetapi, dengan menggunakan common
sense saja agaknya sudah dapat dirasakan penolakan untuk memakan
binatang-binatang seperti binatang buas: singa, anjing, ular, burung
elang, dsb. Oleh karena itu, barangkali pendapat Mazhab Syafi`i lah
yang lebih kuat yang mengharamkan makanan yang telah disebutkan diatas.Ada pula pendapat yang mengatakan hewan yang hidup di dua air haram,
yang menurut mereka didasarkan pada hadis. Sayangnya, sampai saat
ini penulis hanya dapat menemukan pernyataan keharaman makanan tersebut
di buku-buku fiqih tanpa dapat berhasil menemukan sumber hadisnya
yang jelas selain dari satu hadis yang terdapat dalam kitab Bulughul
Maram (Hassan, 1975): Dari `Abdurrahman bin `Utsman Al-Qurasyis-yi
bahwasanya seorang tabib bertanya kepada Rasulullah saw tentang kodok
yang ia campurkan didalam satu obat, maka Rasulullah larang membunuhnya
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan disahkan oleh Hakim dan diriwayatkan
juga oleh Abu Dawud dan Nasa`i). Dari hadis tersebut, dapat diinterpretasikan
bahwa larangan membunuh kodok sama dengan larangan memakannya. Akan
tetapi larangan terhadap binatang lainnya yang hidup di dua air seperti
kodok tentulah tidak secara tegas dinyatakan dalam hadis tersebut,
mungkin itu hanya hasil qias saja. Jadi seharusnya yang diharamkan
hanya kodok saja, sedangkan hewan yang hidup di dua alam lainnya
tidak diharamkan, kecuali ada hadis yang menyatakan dengan jelas
keharaman hewan-hewan tersebut.Minuman yang Diharamkan Dari semua minuman yang tersedia, hanya satu kelompok saja yang diharamkan
yaitu khamar. Yang dimaksud dengan khamar yaitu minuman yang memabukkan
sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw berdasarkan hadis yang diriwayatkan
oleh Ahmad dan Abu Daud dari Abdullah bin Umar: setiap yang memabukkan
adalah khamar (termasuk khamar) dan setiap khamar adalah diharamkan
(semua hadis-hadis yang digunakan dalam pembahasan minuman yang diharamkan
diperoleh dari Sabiq, 1987). Dari penjelasan Rasulullah tsb jelas
bahwa batasan khamar didasarkan atas sifatnya, bukan jenis bahannya,
bahannya sendiri dapat apa saja. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat
mengenai bahan yang diharamkan, ada yang mengharamkan khamar yang
berasal dari anggur saja. Akan tetapi penulis menyetujui pendapat
yang mengharamkan semua bahan yang bersifat memabukkan, tidak perlu
dilihat lagi asal dan jenis bahannya, hal ini didasarkan atas kajian
hadis-hadis yang berkenaan dengan itu, juga pendapat para ulama terdahulu.Mengenai sifat memabukkan sendiri dijelaskan lebih rinci lagi oleh
Umar bin Khattab seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai
berikut: Kemudian daripada itu, wahai manusia! sesungguhnya telah
diturunkan hukum yang mengharamkan khamar. Ia terbuat dari salah
satu lima unsur: anggur, korma, madu, jagung dan gandum. Khamar itu
adalah sesuatu yang mengacaukan akal. Jadi sifat mengacaukan akal
itulah yang dijadikan patokan. Sifat mengacaukan akal itu diantaranya
dicontohkan dalam Al-Quran yaitu membuat orang menjadi tidak mengerti
lagi apa yang diucapkan seperti dapat dilihat pada surat An-Nisa:
43: Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu shalat sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.
Dengan demikian berdasarkan ilmu pengetahuan dapat diartikan sifat
memabukkan tersebut yaitu suatu sifat dari suatu bahan yang menyerang
syaraf yang mengakibatkan ingatan kita terganggu.Keharaman khamar ditegaskan dalam Al-Quran surat Al-Maaidah ayat
90-91: Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya meminum khamar,
berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak
panah adalah perbuatan-perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menumbulkan permusuhan
dan kebencian diantara kamu lantaran meminum khamar dan berjudi itu
dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka berhentilah
kamu mengerjakan perbuatan itu.Dengan berpegang pada definisi yang sangat jelas tersebut diatas
maka kelompok minuman yang disebut dengan minuman keras atau minuman
beralkohol (alcoholic beverages) termasuk khamar. Sayangnya, banyak
orang mengasosiasikan minuman keras ini dengan alkohol saja sehingga
yang diharamkan berkembang menjadi alkohol (etanol), padahal tidak
ada yang sanggup meminum etanol dalam bentuk murni karena akan menyebabkan
kematian. Etanol memang merupakan komponen kimia yang terbesar (setelah air)
yang terdapat pada minuman keras, akan tetapi etanol bukan satu-satunya
senyawa kimia yang dapat menyebabkan mabuk, banyak senyawa-senyawa
lain yang terdapat pada minuman keras juga bersifat memabukkan jika
diminum pada konsentrasi cukup tinggi. Komponen-komponen ini misalnya
metanol, propanol, butanol (Etievant, 1991). Secara umum, golongan
alkohol bersifat narkosis (memabukkan), demikian juga komponen-komponen
lain yang terdapat pada minuman keras seperti aseton, beberapa ester
dll (Bretherick, 1986). Secara umum, senyawa-senyawa organik mikromolekul dalam bentuk murninya
kebanyakan adalah racun. Sebagai contoh, asetaldehida terdapat pada
jus orange walaupun dalam jumlah kecil (3-7 ppm) (Shaw, 1991). Jika
kita lihat sifatnya (dalam bentuk murninya), asetaldehida juga bersifat
narkosis, walaupun hanya menghirup uapnya (Bretherick, 1986). Oleh
karena itu, kita tidak dapat menentukan keharaman minuman hanya dari
alkoholnya saja, akan tetapi harus dilihat secara keseluruhan, yaitu
apabila keseluruhannya bersifat memabukkan maka termasuk kedalam
kelompok khamar. Apabila sudah termasuk kedalam kelompok khamar maka
sedikit atau banyaknya tetap haram, tidak perlu lagi dilihat berapa
kadar alkoholnya.Apabila yang diharamkan adalah etanolnya, maka dampaknya akan sangat
luas sekali karena banyak sekali makanan dan minuman yang mengandung
alkohol, baik terdapat secara alami (sudah terdapat sejak bahan pangan
tersebut baru dipanen dari pohon) seperti pada buah-buahan, atau
terbentuk selama pengolahan seperti kecap. Akan tetapi kita mengetahui
bahwa buah-buahan segar dan kecap tidak menyebabkan mabuk. Disamping
itu, apabila alkohol diharamkan maka ketentuan ini akan bertentangan
dengan penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah saw tentang jus
buah-buahan dan pemeramannya seperti tercantum dalam hadis-hadis
berikut:Minumlah itu (juice) selagi ia belum keras. Sahabat-sahabat bertanya:
Berapa lama ia menjadi keras? Ia menjadi keras dalam tiga hari,
jawab Nabi. (Hadis Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Umar).
Bahwa Ibnu Abbas pernah membuat juice untuk Nabi saw. Nabi meminumnya
pada hari itu, besok dan lusanya hingga sore hari ketiga. Setelah
itu Nabi menyuruh khadam menumpahkan atau memusnahkannya. (Hadis
Muslim berasal dari Abdullah bin Abbas).
Buatlah minuman anggur!. Tetapi ingat, setiap yang memabukkan adalah
haram (Hadis tercantum dalam kitab Fiqih Sunah karangan Sayid Sabiq,
1987).
Pemeraman juice pada suhu ruang dan udara terbuka sampai dua hari
jelas secara ilmiah dapat dibuktikan akan mengakibatkan pembentukan
etanol, tetapi memang belum sampai pada kadar yang memabukkan, hal
ini juga dapat terlihat pada pembuatan tape. Sebelum diperam pun
juice sudah mengandung alkohol, juice jeruk segar misalnya dapat
mengandung alkohol sebanyak 0.15%. Dari pembahasan tersebut diatas
jelaslah bahwa pendapat yang mengatakan diharamkannya alkohol lemah,
bahkan bertentangan dengan hadis Rasulullah saw. Apabila alkohol
diharamkan, maka seharusnya alkohol tidak boleh digunakan untuk sterilisasi
alat-alat kedokteran, campuran obat, pelarut (pewarna, flavor, parfum,
obat, dll), bahkan etanol harus enyah dari laboratorium-laboratorium.
Jelas hal ini akan sangat menyulitkan. Disamping itu ingatlah firman
Allah dalam surat Al-Maiadah ayat 87: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Allah telah halalkan
bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.Ada pula yang berpendapat bahwa etanol itu haram, akan tetapi etanol
dapat digunakan dalam pengolahan pangan asalkan pada produk akhir
tidak terdeteksi lagi adanya etanol. Pendapat ini lemah karena dua
hal; pertama, berdasarkan hukum fiqih, apabila suatu makanan atau
minuman tercampur dengan bahan yang haram maka menjadi haramlah ia
(Ada pula yang berpendapat bahwa hal ini dibolehkan sepanjang tidak
merubah sifat-sifat makanan atau minuman tersebut. Pendapat ini hasil
qias terhadap kesucian air yang tercampuri bahan yang najis, sepanjang
tidak merubah sifat-sifat air maka masih tetap suci. Penulis tidak
sependapat dengan pandangan ini karena masalah kehalalan makanan
dan minuman tidak bisa disamakan dengan masalah kesucian air, keduanya
merupakan dua hal yang berbeda). Kedua, secara teori tidak mungkin
dapat menghilangkan suatu bahan sampai 100 persen apabila bahan tersebut
tercampur ke dalam bahan lain, dengan kata lain apabila etanol terdapat
pada bahan awalnya, maka setelah pengolahan juga masih akan terdapat
pada produk akhir, walaupun dengan kadar yang bervariasi tergantung
pada jumlah awal etanol dan kondisi pengolahan yang dilakukan. Hal
ini dapat dibuktikan di laboratorium.Walaupun bukan etanol yang diharamkan tetapi minuman beralkohol,
akan tetapi penggunaan etanol untuk pembuatan bahan pangan harus
dibatasi, untuk menghindari penyalahgunaan dan menghindari perubahan
sifat bahan pangan dari tidak memabukkan menjadi memabukkan. Etanol
dapat digunakan dalam proses ekstraksi, pencucian atau pelarutan,
akan tetapi sisa etanol pada produk akhir harus dihilangkan sedapat
mungkin, sehingga hanya tersisa sangat sedikit sekali. Etanol tidak
boleh digunakan sebagai solven akhir suatu bahan, misal digunakan
sebagai pelarut bahan flavor dan pewarna.Batasan khamar ini nampaknya tidak terbatas pada minuman saja mengingat
ada hadis yang mengatakan setiap yang memabukkan adalah khamar dan
setiap khamar adalah haram (Hadis Muslim); Semua yang mengacaukan
akal dan semua yang memabukkan adalah haram (Hadis Abu Daud). Dengan
demikian segala hal yang mengacaukan akal dan memabukkan seperti
berbagai jenis bahan narkotika termasuk ecstasy adalah haram.Disamping makanan dan minuman yang diharamkan seperti telah dijelaskan
diatas, ada beberapa kaidah fiqih yang sering digunakan dalam menentukan
halal haramnya bahan pangan. Kaidah tersebut diantaranya adalah:Semua yang bersifat najis haram untuk dimakan.
Manakala bercampur antara yang halal dengan yang haram, maka dimenangkan
yang haram.
Apabila banyaknya bersifat memabukkan maka sedikitnya juga haram.
IMPLIKASI HUKUM SYARIAH DALAM PENETAPAN KEHALALAN PRODUK PANGAN HASIL
BIOTEKNOLOGIApabila dasar-dasar syariah yang digunakan sebagai landasan penentuan
kehalalan suatu bahan pangan telah dipahami dan disepakati maka sebetulnya
implikasinya dalam menentukan kehalalan produk pangan hasil bioteknologi
menjadi relatif lebih mudah. Secara umum hal-hal yang menjadi patokan
dapat dirumuskan sbbDalam suatu produksi bahan pangan tidak menggunakan bahan-bahan yang
diharamkan agar produknya dapat dinyatakan halal. Ini misalnya berlaku
pada proses produksi secara fermentasi.
Pemanfaatan babi dan unsur-unsurnya atau turunan-turunannya mutlak
tidak boleh dilakukan. Jika suatu proses produksi memanfaatkan babi
dan unsur-unsurnya maka produknya menjadi haram dimakan. Sebagai
contoh: pemanfaatan gen dari babi untuk rekayasa genetika, pemanfaatan
porcine somatotropin untuk penggemukan sapi, dll.
Pemanfaatan hewan ternak selain babi dan unsur atau turunannya dibolehkan
sepanjang ternak tersebut disembelih secara islami.
Penggunaan etanol sebagai substrat, senyawa intermediet, solven dan
pengendap dibolehkan, sepanjang konsentrasinya pada produk akhir
(ingredien pangan) diupayakan minimal (minimal level technologically
possible, sesuai dengan pendapat Chaudry dan Regenstein, 1994).
Tentu masih ada beberapa hal lagi yang bisa dijadikan patokan, disamping
masih ada beberapa masalah lagi yang belum dapat dipecahkan pada
saat ini. Oleh karena, hal ini menjadi tantangan bagi kita semua
untuk merumuskan dan mencarikan jalan keluarnya.1. Bretherick, L (ed.). 1986. Hazards in the Chemical Laboratory.
Fourth edition. The Royal Society of Chemistry, London.
2. Chaudry, M. M. dan Regenstein, J. M. 1994. Implications of biotechnology
and genetic engineering for kosher and halal foods. Trends in Food
Sci. Technol., 5, 165 E168.
3. Etievant, P. X. 1991. Wine. Didalam: Volatile Compounds in Foods
and Beverages, ed. H. Maarse. Marcel Dekker, New York.
4. Hamka. 1982. Tafsir Al-Azhar Juzu VI. Panji Masyarakat, Jakarta.
5. Hamka, 1984. Tafsir Al-Azhar Juzu VIII. Pustaka Panjimas, Jakarta.
6. Hassan A. 1975. Tarjamah Bulughul Maram. Diponegoro, Bandung.
7. Hassan, A. 1985. Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. Diponegoro,
Bandung.
8. Majelis Ulama Indonesia. 2000. Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Tentang Produk Penyedap Rasa (Monosodium Glutamate,
MSG) Dari PT. Ajinomoto Indonesia yang Menggunakan Bacto Soytone.9. Sabiq, S. 1987. Fikih Sunnah. Alih bahasa M. Syaf. Al-Ma’arif,
Bandung.
10. Shaw, P. E. 1991. Fruits II. Didalam: Volatile Compounds in Foods
and Beverages, ed. H. Maarse. Marcel Dekker, New York.
11. Qardlawi, M. Y. E. 1976. Halal dan Haram dalam Pandangan Islam.
Alih bahasa M. Hamidy. Bina Ilmu, Surabaya.