Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

Memilih bioteknologi atau kelaparan?

Memilih bioteknologi atau kelaparan?





Tuesday, 06 January 2009


Image

Ada secercah harapan ketika bioteknologi diyakini mampu menyelamatkan umat manusia dari kelangkaan pangan dan kelaparan di dunia. Melalui bioteknologi, hasil produksi tanaman dapat ditingkatkan minimal 10%. Sayangnya, harapan tinggal harapan ketika sektor pertanian tidak cukup akrab dengan bioteknologi. Salah siapa jika kemudian kelaparan mulai merajalela?

Food and Agriculture Organization (FAO) baru-baru ini merilis data jumlah penduduk dunia yang kelaparan mencapai lebih dari 850 juta jiwa. Harga pangan pun melonjak dua kali lipat hanya dalam 2 tahun terakhir.

Selain kekurangan pangan kronis, defisiensi mikronutrien menjadi momok karena kualitas dan diversitas pangan yang dikonsumsi sangat buruk. Padahal FAO memproyeksikan akan terdapat 2 miliar penduduk Bumi yang butuh makan dalam 30 tahun ke depan.

Di sisi lain, produktivitas pertanian dunia, khususnya di negara-negara agraris pemasok produk pangan tidak meningkat secara simultan seiring dengan pertumbuhan penduduk.

Padahal, Revolusi Hijau telah mengajarkan pentingnya inovasi teknologi, seperti benih unggul, pupuk, pestisida, dan mekanisasi pertanian untuk mendongrak efisiensi usaha tani.

Jelas, bertahan dengan usaha tani konvensional tidak akan memberikan hasil lebih baik di tengah tekanan peningkatan kebutuhan pangan yang terus-menerus. Bagi Indonesia, seharusnya kondisi ini menjadi peluang mengingat potensi sektor pertanian masih mungkin dilipatgandakan.

Sayangnya, model-model usaha tani konvensional yang hanya mengandalkan kemampuan alam secara alami justru mendominasi kantong-kantong sentra pertanian.

Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengakui bahwa pemerintah sebenarnya telah memberikan perhatian pada teknologi inovatif baru yang berasal dari bioteknologi modern, bahkan sejak 20 tahun yang lalu. Apa hasilnya? Memang, belum tampak signifikan.

Kendalanya bukan lagi menjadi rahasia. Indonesia belum siap memanfaatkan produk bioteknologi pada tanaman pangan karena kendala instrumen kebijakan yang tidak lengkap.

Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian Sutrisno mengungkapkan tanpa instrumen kebijakan pemanfaatan produk transgenik tidak mungkin dilakukan di dalam negeri.

Akibatnya, pengembangan bioteknologi yang dirintis sejak 1996 hingga kini belum optimal. Padahal, dua komoditas pangan telah dikembangkan melalui bioteknologi, yaitu padi dan kentang, meskipun hasilnya baru mencapai 20% dari target. Sutrisno memang tidak patah arang. Dengan anggaran yang tidak lebih dari Rp700 juta per tahun, daya riset pun terbatas. Basis riset bioteknologi harus dipilih untuk mengoptimalkan penelitian pada produk unggulan yaitu tomat, tebu, dan jarak pagar.

Lebih siap

Bandingkan dengan Filipina, misalnya. Dengan dukungan yang kuat dari pemerintah, termasuk soal anggaran yang hampir tidak terbatas untuk riset bioteknologi pertanian, negara ini lebih siap menangkal ledakan konsumsi pangan pada masa mendatang dengan memanfaatkan teknologi itu.

Bioteknologi menjadi sebuah nilai tambah ketika lahan di negara itu tidak lagi dapat diandalkan untuk mendongrak peningkatan hasil produksi pertanian. Filipina kini tercatat sebagai negara pertama di Asia yang menanam tanaman produk bio-teknologi untuk bahan pangan yaitu jagung. Pertama kali ditanam pada 2002 di areal 126 hektare, jagung Bt di Filipina mampu mendongrak pendapatan petani karena produksi berlipat 60% per ha. Sepanjang 2003-2005, keuntungan pertanian jagung Bt mencapai US$8,5 juta.

Hingga pada 2007 luas pertanaman ini melonjak hingga 300.000 ha dengan pendapatan petani penanam jagung mencapai US$181 per ha. Nilai yang sungguh fantastis. Selain mengoptimalkan penanaman, Filipina juga berhasil mengembangkan padi dan kelapa tahan penyakit. Rekayasa genetik juga dilakukan pada tanaman pepaya agar lebih tahan hama sekaligus meningkatkan hasil panen.

Langkah serupa juga dilakukan di China dan India. Meskipun belum mengembangkan bioteknologi untuk tanaman pangan, kedua negara ini telah membuktikan manfaat teknologi tersebut pada produksi kapas.

Lalu, di manakah posisi Indonesia? Jawabnya, mungkin hanya soal waktu. Sebab, soal kompetensi, ahli bioteknologi di dalam negeri tidak perlu diragukan.

Setidaknya, ini terbukti dengan adanya beberapa negara yang berminat melakukan kerja sama dengan ahli-ahli Indonesia, seperti Iran dan Filipina. Pun pada 2001, untuk pertama kalinya di Asia Tenggara, Departemen Pertanian merilis dua varietas tanaman padi biotek, yaitu Code dan Angke, yang masing-masing mengandung gen xa-7 dan xa-5 sehingga mampu menoleransi serangan penyakit hawar daun bakteri.

Hanya saja, 'jebakan' birokrasi dan instrumen kebijakan yang tidak pernah menjadi prioritas menjauhkan petani Indonesia dari perkembangan bioteknologi di dalam negeri. Produk bioteknologi tidak pernah membumi di level itu.

Semestinya, harga pangan yang sempat melambung tinggi pada 2007 menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi Indonesia untuk belajar. Sekarang, pilihannya sederhana: memanfaatkan bioteknologi atau kelaparan?